Selasa, 02 Juni 2009

Radikalisme Front Pembela Islam (FPI)

1. Pendahuluan
FPI adalah nama ormas Islam yang saat ini sangat dikenal di kalangan masyarakat Indonesia. Citra FPI di Masyarakat Indonesia adalah ormas Islam yang radikal dan anarkis. Dibalik itu semua ada sebagian masyarakat yang pro dengan tindakan-tindakan yang diambil FPI, namun juga ada yang kontra. Bagi kelompok yang kontra, aksi-aksi FPI sering kali dinilai sebagai bentuk ungkapan permusuhan dan agresivitas, yang di dalam ilmu sosial disebut sebagai radikalisme.
FPI mengklaim bahwa dirinya membela Islam. Sikap eksklusif dan tertutup adalah ciri khas yang nampak jelas di dalam ormas ini. Selain sikap ini, FPI juga memiliki ciri khas lain yang tak dimiliki oleh organisasi-organisasi Islam radikal lainnya, seperti Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), Laskar Jihad, dll. Kita perlu mengetahui dan mengenal FPI lebih dalam dan seberapa radikal sebenarnya ormas ini. Kita juga perlu mengetahui penyebab munculnya aksi-aksi anarkis yang muncul ini.
Banyak masyarakat yang tidak senang terhadap tindakan-tindakan FPI di beberapa tempat dan peristiwa. Banyak dari masyarakat Islam di Indonesia yang menganggap bahwa FPI membawa citra buruk bagi Islam. FPI menjadikan citra Islam di Indonesia semakin kian terpuruk di samping adanya pemboman-pemboman yang dilakukan oleh Jemaah Islamiyah di Indonesia. Anehnya, di tengah cercaan masyarakat yang sedemikian gencarnya, FPI tetap mengklaim bahwa dirinya benar dan bahwa dirinya membela Islam. Anggota FPI berpegang teguh dengan apa yang mereka yakini dan apa yang pemimpin mereka katakan. Untuk mengetahui alasan ormas ini muncul dan apa tujuan mereka, maka kita perlu mengenal FPI lebih dalam dengan mengetahu asasnya, keanggotaan, struktur organisasi, dll.

2.Isi
2.1 Radikalisme

Istilah radikal adalah istilah yang sering terdengar di telinga kita, namun biasanya masyarakat hanya ikut-ikutan mengatakan sesuatu adalah radikal tanpa benar-benar mengetahu apa makna dari radikal itu sendiri. Radikal yang banyak dikenal oleh masyarakat di Indonesia adalah sesuatu yang identik dengan kekerasan. Namun sebenarnya kita perlu mengetahui terlebih dahulu, apa sebenarnya makna dari radikal atau radikalisme itu sendiri. Apakah radikal atau radikalisme ini adalah sesuatu yang identik dengan kekerasan, seperti yang banyak dimengerti oleh masyarakat di Indonesia?
Kamus Webster memaknai radikal sebagai hal yang mendasar, mengakar, menuju atau dari akar. Perubahan yang radikal, misalnya, adalah perubahan yang mendasar, sangat besar, sehingga mencapai situasi baru yang berbeda sama sekali dari sebelumnya. Radikalisme adalah cara-cara menyelesaikan persoalan sampai ke akar-akarnya sehingga “tuntas” betul, yang muncul dalam bentuk-bentuk mengubah secara total, membongkar, meruntuhkan, “menjebol”. Kamus Umum Belanda-Indonesia yang dikarang S. Wojowasito mendefinisikan “radicaal” sebagai (1) mendalam hingga ke akarnya, (2) ekstrim, (3) berpendirian amat jauh.
Saat ini kita juga mengenal istilah radikal juga diberikan kepada Yesus, Nabi Muhammad SAW dan juga Sidharta Gautama ( Sang Budha). Pada kenyataannya Tokoh-tokoh yang menjadi inspirasi agama ini adalah juga dikatakan sebagai tokoh yang radikal. Jika kita cermati, nampaknya ada penyempitan makna akan radikal dan radikalisme itu sendiri. Istilah radikal di Indonesia dikenai pada seseorang ataupun komunitas sebagai sesuatu yang negatif tanpa alasan dan sebab yang jelas. Istilah radikal yang banyak digunakan oleh kaum elit politik saat ini justru mengaburkan dan mempersempit makna radikal tersebut. Makna radikal yang digunakan oleh para elit politik dan kalangan intelektual lainnya adalah sebagai sesuatu tindakan penolakan atas sesuatu yang sedangterjadi ataupun berlangsung dan mencoba menggantikan tatanan nilai yang lama dengan yang baru.
Pengkajian Islam dan Masyarakat Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta sudah menerbitkan hasil penelitiannya dalam bentuk sebuah buku berjudul “Gerakan Salafi Radikal di Indonesia.” Dalam buku ini disebutkan kriteria-kriteria Islam radikal, antara lain:
1. Kelompok yang mempunyai keyakinan ideologis tinggi dan fanatik yang mereka perjuangkan untuk menggantikan tatanan nilai dan sistem yang sedang berlangsung;
2. Dalam kegiatannya mereka seringkali menggunakan aksi-aksi yang keras, bahkan tidak menutup kemungkinan kasar terhadap kegiatan kelompok lain yang dinilai bertentangan dengan keyakinan mereka,
3. Ketiga, Secara sosio-kultural dan sosio-religius, kelompok radikal mempunyai ikatan kelompok yang kuat dan menampilkan ciri-ciri penampilan diri dan ritual yang khas.
4. Kelompok ‘Islam radikal’ seringkali bergerak secara bergerilya, walaupun banyak juga yang bergerak secara terang-terangan.
Dari empat sumber di atas maka akan banyak sekali kelompok-kelompok atau orang yang dikategorikan sebagai “Islam Radikal”. Tidak heran jika kemudian dari hasil penelitian Pengkajian Islam dan Masyarakat Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta mengatakan ada empat kelompok yang mendapat cap “salafi radikal” dalam buku ini, yaitu Front Pembela Islam (FPI), Laskar Jihad, Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), dan Hizbuttahrir. Koordinator Jaringan Islam Liberal Hamid Basyaib juga mengatakan ada sekitar 13 juta orang Islam di Indonesia, terlibat dalam gerakan Islam radikal dan ini berarti sebanyak 6,5 persen dari total penduduk Indonesia.
2.2 Berdirinya FPI
FPI dideklarasikan pada 17 Agustus 1998 (atau 24 Rabiuts Tsani 1419 H) di halaman Pondok Pesantren Al Um, Kampung Utan, Ciputat, di Selatan Jakarta oleh sejumlah Habaib, Ulama, Mubaligh dan Aktivis Muslim dan disaksikan ratusan santri yang berasal dari daerah Jabotabek. Hal ini berarti pendirian organisasi ini hanya empat bulan setelah Presiden Soeharto mundur dari jabatannya. Hal ini mungkin dikarenakan pada saat pemerintahan orde baru presiden tidak mentoleransi tindakan ekstrimis dalam bentuk apapun.
Arti kata “Front” mengacu pada pengertian di depan dan di dalam konteks Islam menjadi sebagai pembela paling depan. Kata “pembela” diambil dari ayat Al-Quran: “Ya ayyuha al-ladzina amanu kunu ansharallah”, yang berarti: Wahai engkau orang-orang yang beriman, jadilah engkau pembela/penolong Allah (QS. Ash-Shaff:14). Menurut Habib Rizieq, menjadi “pembela Allah” adalah menjadi pembela agama Allah. Agama Allah yang dimaksud disini adalah agama Islam, Inna al-dina inda Allah al-Islam, yang diartikan oleh mereka: Sesungguhnya agama yang diterima mereka adalah agama Islam (QS Ali Imran: 19). Mereka menganggap bahwa Islam adalah suatu identitas kolektif yang harus dibela. Organisasi ini dibentuk dengan tujuan menjadi wadah kerja sama antara ulama dan umat dalam menegakkan Amar Ma'ruf dan Nahi Munkar di dalam setiap aspek kehidupan. Latar belakang pendirian FPI sebagaimana diklaim oleh organisasi tersebut antara lain:
1. Adanya penderitaan panjang ummat Islam di Indonesia karena lemahnya kontrol sosial penguasa sipil maupun militer akibat banyaknya pelanggaran HAM yang dilakukan oleh oknum penguasa.
2. Adanya kemungkaran dan kemaksiatan yang semakin merajalela di seluruh sektor kehidupan.
3. Adanya kewajiban untuk menjaga dan mempertahankan harkat dan martabat Islam serta ummat Islam.
Mereka melakukan aksi-aksi mereka ditengah-tengah masyarakat yang tidak tahu bagaimana untuk mengambil tindakan. Masyarakat Indonesia berada di dalam posisi yang dilematis: bersikap resisten akan menyebabkan mereka dianggap radikal atau hanya menerima begitu saja dengan implikasi budaya yang begitu besar. Memang saat ini ada mediator persuasif yang dapat digunakan untuk melalui jalur formal, yaitu aparat hukum. Akan tetapi upaya ini cenderung ditinggalkan karena faktor ketidakpercayaan terhadap institusi-institusi hukum di Indonesia.
2.3 Profil FPI
2.3.1 Mazhab dan Firqah

Sebagai organisasi yang bernafaskan keagamaan tentulah FPI tidak akan terlepas dari wacana keagamaan. Dalam tradisi Islam, seseorang atau komunitas selalu mengidentifikasi diri dengan suatu mazhab dan firqah. Secara umum, FPI menganut mazhab Syafii (walaupun sebenarnya terdapat varian-varian lain dalam kesehariannya) dan mazhab salaf yang mereka anut ini tidaklah terkesan radikal, karena mereka masih toleran terhadap keberagaman lokal yang telah bercampur dengan unsur budaya.
Organisasi ini lebih cenderung menempatkan aqidah di atas segala-galanya dengan pemahaman yang rigid. Organisasi ini bersikap sangat keras dan kaku terhadap pelanggaran-pelanggaran nilai agama. Mereka sangat berpegang teguh terhadap ajaran dan aqidah Islam dan menolak sama sekali bentuk penyelewengan ajaran dan tindakan di luar ajaran Islam.
Berkaitan dengan firqah, FPI menganut aliran ahlu sunnah wa-al jamaah (disingkat: aswaja). Para pengikut aswaja, adalah mereka yang melakukan penggalian hukum Islam dengan mengakui Al-Quran, hadis, ijmak, dan qiyas sebagai sumber hukum dan beberapa metode yang digunakan oleh empat mazhab hukum yang dikenal dalam tradisi Islam: Maliki, Hanafi, Syafii dan Hambali. Yang dijunjung tinggi di dalam aswaja adalah selalu menjunjung tinggi nilai persatuan dan persaudaraan umat muslim, tidak mudah mengkafirkan muslim lainnya hanya karena permasalahan khilafih, mencintai Rasulullah, keluarga, keturunan dan sahabat-sahabatnya, mencintai para salafussalih, menghormati paara Imam Mazhab yang berpegang teguh pada Al-Quran dan hadis serta membuka pintu ijtihad sepanjang masih ada ahlinya.
Terkhusus dengan masalah pengkafiran, ada kaidah dalam aswaja yang telah baku dan dipegang serta diikuti secara patuh di dalam FPI. Dalam aswaja, seorang muslim dianggap kafir apabila melakukan pelanggaran-pelanggaran dalam hal keyakinan, perbuatan dan pekataan.
2.3.2 Asasi Perjuangan FPI
a.Asas

Jika kita mendengar namanya, sudah jelas organisasi ini adalah organisasi yang berasaskan Islam. Akan tetapi Islam menurut FPI adalah Islam yang kamil (sempurna) dan syamil (menyeluruh). Maksudnya adalah bahwa dengan mengatur masalah dan tata cara kehidupan manusia yang bersifat umum dan khusus. Di dalam hal apapun, seorang Muslim haruslah tunduk pada atran Islam secara utuh dan tidak setengah-setengah.
b. Visi, Misi dan Pedoman
Dalam menjalankan aksinya, tentulah FPI memiliki tujuan yang hendak mereka capai. Mereka juga mengharapkan akan adanya perubahan di masyarakat seperti yang mereka inginkan. Organisasi ini juga memiliki visi dan misi yang terus mereka pegang di dalam bersikap dan melakukan aksinya di tengah-tengah masyarakat.Visi dan misi FPI sangatlah lekat dengan latar belakang pendiriaannya, yaitu amar makruf dan nahi mungkar. Mereka menyimpulkan bahwa penegakan amar makruf adalah satu-satunya menghindari kezaliman dan kemungkaran. Penegakan ini harus berlangsung secara komprehensif dengan meliputi seluruh dimensi kehidupan, yang pada akhirnya akan berujung pada penerapan syariat Islam dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam bertindak FPI juga bukan organisasi yang sembarangan bertindak. Organisasi ini juga memiliki pedoman sendiri dalam menjalankan setiap aksinya. Pedoman organisasi ini dirumuskan oleh para pendiri FPI dan mengadopsi secara seratus persen rumusan Hasan Al-Banna, pendiri organisasi Ikhwanil Muslimin. Rumusan tersebut adalah:
1. Allah adalah Tuhan dan tujuan kami. Di dalam pengertian ini, segala aksi dan bentuk pemikiran yang dijalankan oleh organisasi ini adalah bentuk ibadah dan ketundukkan pada Allah.
2. Muhammad Rasulullah adalah teladan kami. Hal ini berarti, segala perilaku Nabi Muhammad harus dijadikan pedoman, tidak hanya di dalam masalah ibadah , tapi juga seluruh perliaku hidup
3. Al-Quran adalah imam kami. Artinya, Al-Quran merupakan petunjuk, pedoman dan imam demi keselamaatan dunia dan akhirat. Menjadikan Al-Quran sebagai pedoman juga berarti menjadikan hadis sebagai pedoman.
4. Jihad adalah jalan kami. Jihad disini diartikan dalam pengertian mengarahkan segala kemampuan untuk menegakkan agama Allah. Jihad merupakan jalan perjuangan dalam menegakkan amar makruf nahi mungkar.
5. Mati syahid adalah cita-cita kami. Secara etimologis, syahid berasal dari kata syuhada yang berarti saksi. Biasanya kita dengar dengan artian pahlawan yang gugur di medan perang atau di jalan Allah. Mereka menganggap bahwa mereka yang mati demi menegakkan amar makruf nahi mungkar adalah mati syahid.
c. Semboyan, Moto dan Doktrin
Jika kita melihat dari visi, misi serta pedoman yang dipegang oleh FPI, maka kita dapat melihat bahwa nampaknnya organisasi ini berdiri berdasarkan inspirasi atas organisasi Ikhwanul Muslimin (IM). Semboyan yang diambil digunakan dari kata-kata terakhir Sayyid Qutb (salah satu tokoh IM) sebelum ia mati di tiang gantungan ketika berada di era Jamal Abdul Nasser: “Hidup mulia atau mati syahid.” Hal ini mengandung pengertian bahwa hanya orang yang mulia yang menginginkan mati syahid dan kesyahidan hanya dapat dicapai oleh orang yang hidupnya mulia. Sementara itu moto yang mereka ambil terinspirasi dari hal ini, yaitu: “Kebenaran tanpa sistem akan dikalahkan oleh kebatilan yang memiliki sistem.” Berkaitan dengan filsafat juang, FPI menguraikan dalam ungkapan: Bagi Mujahid, difitnah itu biasa, dibunuh berarti syahid, dipenjara berarti uzlah (menyepi, biasanya untuk kontemplasi), diusir berarti tamasya. Jadi apapun resiko yang diambil perjuangan harus tetap dilakukan.
Selain hal tersebut, ada lima doktrin yang digunakan untuk membangun militansi dalam organisasi. Hal tersebut adalah:
1. Mengikhlaskan diri, yaitu dengan meneguhkan niat dan keikhlasan demi Allah semata, sehingga menjadi pejuang sejati yang selalu bersemangat di dalam berjuang.
2. Memulai dari diri sendiri.
3. Kebenaran harus ditegakkan.
4. Setiap orang pasti akan mati. Maka dari itu diharapkan setiap aktivis FPI siap berebut untuk mati, berkorban demi Allah untuk menjadi syahid.
5. Menjadi mujahid atas para musuhnya. Maksudnya adalah bahwa perjuangan FPI merupakan jihad dan pelaku jihad disebut sebagai mujahid. Karakter mujahid ini tidak boleh lemah dalam menghadapi musuh dan tantangan.
2.4 Seberapa Radikalkah FPI?
FPI saat ini dikenal sebagai ormas Islam yang sangat radikal di dalam masyarakat. FPI dianggap bertindak sewenang-wenang dan sama sekali tidak menaati hukum yang berlaku. FPI juga tidak menaruh hormat pada aparat-aparat hukum di Indonesia. Sebenarnya apa yang terjadi sehingga membuat FPI melakukan tindakan-tindakan yang anarkis dan membuatnya dibenci oleh masyarakat.
FPI melakukan semua tindakan-tindakan tersebut bukannya tanpa alasan. FPI mengklaim bahwa dirinya memiliki tujuh juta orang anggota di Indonesia. Bagaimana bisa banyak dari anggota masyarakat yang ikut ambil bagian di dalam FPI dan bersikap sangat fanatik terhadap organisasi ini? Kita tidak bisa hanya mengacu pada indoktrinasi yang diberikan oleh para pemimpin-pemimpin FPI, tapi kita perlu melihat faktor lain yang menyebabkan hal ini.
Jika kita meninjau kembali, FPI bukanlah gerakan yang sangat radikal seperti gerakan-geraka lainnya. Apa yang FPI lakukan adalah upaya untuk menegakkan dan menjalankan semuanya sesuai dengan aqidah Islam. Organisasi ini dalam tujuannya tidak mencoba untuk menggantikan dasar negara Pancasila dengan Syariat Islam. Organisasi ini tidak termasuk pada organisasi yang mencoba menjadikan Indonesia sebagai Negara Islam. Negara Islam Indonesia (NII) saat ini sudah banyak melakukan pergerakan dan aksi-aksi dalam usahanya mengganti dasar negara, akan tetapi FPI sama sekali tidak termasuk di dalam faksi yang menjadi regenerasi dari NII. FPI adalah sebuah ormas Islam yang unik yang hanya berangkat dari rasa gerah akan tekanan dan ketidak adilan yang terjadi di dalam pemerintahan. Ini membuktikan bahwa FPI bukanlah suatu organisasi yang benar- benar radikal seperti yang tersebar di tengah masyarakat selama ini.
3. Tinjauan Kritis
Seperti yang dikemukakan di atas, FPI terbentuk empat bulan setelah Rezim Orde Baru runtuh. Pada masa Orde Baru, masyarakat banyak mengalami tekanan dari pemerintah. Masyarakat merasa bahwa dirinya sangat dibatasi di dalam bersikap, bertindak ataupun berpendapat. Nurcholis Madjid mengatakan bahwa ada “ledakan partisipasi” dari masyarakat setelah masa Orde Baru runtuh. Masyarakat yang sudah sekian lama ditekan dan dihabisi kebebasannya sudah gerah dan dalam masa pemerintahan yang baru ini mereka tidak mau lagi dibatasi kebebasannya dan tak mau lagi terulang pada penekanan tersebut.
Saat ini praktek KKN juga semakin marak di kalangan para elit politik dan pejabat pemerintahan bahkan aparat hukum sekalipun. Berangkat dari hal ini FPI, sebagai sebagian anggota masyarakat yang gerah dan muak terhadap hal tersebut mau ikut berpartisipasi dan mengambil sikap. FPI menjadi organisasi yang main hakim sendiri dan tidak lagi mempedulikan hukum yang berlaku. Apa yang mereka anggap salah maka akan langsung mereka tindak. Tidak sepenuhnya ini adalah kesalahan ormas-ormas yang muncul. Ini semua juga dikarenakan sistem pemerintahan serta orang-orang di Indonesia yang sudah bobrok. Yusuf Qardhawi mengemukakan hal yang sama, bahwa ekstremisme biasanya muncul dikarenakan bersumber pada bobroknya pemerintahan dan tirani para penguasa yang mengikuti hawa nafsu.
Krisis moral di pemerintahan Indonesia menambah kritis keadaan Indonesia. Pemerintah Indonesia seharusya sadar akan hal ini. Pemerintah harus berani bertindak tegas terhadap pelaku-pelaku KKN di dalam instansinya. Akan tetapi hal ini merupakan sesuatu yang sulit untuk dilakukan, karena tidak semua orang di pemerintah memiliki kesadaran untuk membangun masyarakat Indonesia dan keluar dari krisis multidimensi ini.
Tindakan-tindakan yang dilakukan FPI juga sama sekali tidak juga bisa dibenarkan. Sikap main hakim sendiri dan anarkis ini membawa kita kembali ke dalam tatanan hukum rimba, dimana yang kuatlah yang menang. Jika memang hendak membantu hukum dan sistem peradilan di Indonesia maka seharusnya juga menghormati hukum yang berlaku. Sebagai masayarakat yang hidup dalam pluralitas, tentu tidak bisa semena-mena dengan mengatakan bahwa yang berlaku adalah aturan dalam agama Islam. Sebagai pengikut aliran aswaja mereka juga telah lalai dalam menjalankan apa yang mereka pegang. Aliran ini juga mengatakan bahwa mereka haruslah tunduk kepada penguasa, selama penguasa ini mendirikan shalat. Tapi apa yang dilakukan oleh FPI juga tidak mencerminkan aliran yang mereka anut.
Dalam hal ajaran mereka nampaknya sangatlah kaku. Mereka hanya menerima ajaran Islam dan kurang meghormati ajaran lain di luar Islam. Mereka kurang dapat melihat bahwa ada unsur-unsur kebenaran atau unsur-unsur yang baik di dalam ajaran agama lain. Mereka tidak mau melihat ajaran lain di luar ajaran Islam. Contohnya saja sikap mereka terhadap Ahmadiyah. Dalam menyikapi aliran ahmadiyah, FPI bersikap sangat anti terhadap hal ini. Padahal Ahmadiyah juga merupakan salah satu aliran di dalam Islam. Mereka juga orang-orang berpegang kepada Al-Quran dan hadis. FPI lebih banyak mendengar apa yang popular terdengar di masyarakat, misalnya anggapan bahwa Ghulam Ahmad (pendiri Ahmadiyah) sudah keluar dari Islam. Padahal Ghulam Ahmad adalah tokoh yang sangat menjunjung tinggi nilai Al-Quran dan dia adalah penganjur utama jihad terbesar, jihad besar dan jihad kecil.
FPI lebih suka menghakimi terlebih dahulu daripada mengkaji secara mendalam. Pemahaman dari Al-Quran dari para anggota dan pemimpin FPI yang kurang juga menyebabkan mereka mudah menghakimi ajaran agama lain. FPI lebih banyak menafsirkan Al-Quran secara tekstual saja dan bukan kontekstual.
Jika FPI mengklaim bahwa dirinya melakukan jihad, maka seharusnya kembali pada makna jihad yang sebenarnya. Jihad bukanlah sekedar ditempuh dengan jalan kekerasan semata-mata. Justru seharusnya FPI juga belajar dari Ghulam Ahmad yang justru berjihad dengan jalan damai. Kita dapat melihat juga dari sikap para pemeluk Ahmadiyah yang anti kekerasan dan ketika mereka dianiaya atau menjadi korban tindak kekerasan mereka sama sekali tidak membalas. Padahal mereka bisa saja membalas, karena jumlah pengikut aliran Ahmadiyah ini tidaklah sedikit.
Di dalam jihad yang diklaim bahwa hal inilah yang dilakukan oleh FPI, justru tidak betul-betul memegang nilai-nilai jihad di dalam Islam itu sendiri. Dalam Islam dikenal istilah jihad akbar atau jihad terbesar dan di dalam jihad yang diutamakan adalah ilmu akhlak yang baik. Ilmu akhlak yang baik adalah sesuatu yang penting dan menjadi yang utama di dalam Al-Quran. Kalau kita lihat, tindakan-tindakan FPI sama sekali tidak mengena pada makna jihad yang sebenarnya. Jihad hanya dilihat sebaga tindakan kekerasan. Apa yang telah dilakukan oleh FPI justru telah menyimpang dari ilmu akhlak Islam.
Di dalam Islam kita juga mengenal istilah ijtihad. Saya melihat bahwa FPI sebagai organisasi Islam kurang berijtihad dalam melakukan sesuatu. FPI terlalu terburu-buru terbawa luapan emosi dan amarah terhadap mereka yang berbeda dengan mereka. Akan tetapi, bukankah seharusnya FPI melakukan ijtihad semaksimal mungkin sebelum mengambil tindakan-tindakannya. Setiap tindakan yang diambil oleh FPI saat ini justru identik dengan kekerasan dan anarkis. Hal ini justru membawa Islam pada citra yang buruk di mata dunia setelah beberapa kasus yang terjadi di dunia beberapa dekade ini.
Nampaknya mereka Islam yang dimaknai oleh masyarakat Indonesia sama sekal tidak dikenal dengan baik. Banyak umat Islam yang kurang mengerti dan mengenal agamanya sendiri. Mereka lebih banyak menjalankan apa yang dikatakan orang lain yang “katanya” berdasarkan Al-Quran. Pemahaman tentang Al-Quran sendiri perlu semakin ditingkatkan agar justru pengembangan ajaran agama Islam yang salah tidak lagi bertumbuh subur di Indonesia. Nurcholis Madjid mengatakan bahwa: “Asalkan Kaum Muslim mampu memahami agama mereka dengan sungguh-sungguh, maka Islam akan menjadi agama yang relevan dengan tingkat perkembangan mutakhir masa kini.” Saat ini yang dibutuhkan bukanlah perlawanan terhadap FPI, akan tetapi seharunya dengan meningkatkan pemahaman umat Muslim mengenai Islam itu sendiri.



DAFTAR PUSTAKA
Sa’ad , Tamyis. Yang Tersembunyi di Balik Radikalisme. lihat pada link: http://tamyiz.wordpress.com/2006/12/18/yang-tersembunyi-di-balik-radikalisme/
Rosadi, Andri. 2008. Hitam Putih FPI (Front Pembela Islam). Jakarta: Nun Publisher
Front Pembela Islam, lihat pada link: http://id.wikipedia.org/wiki/Front_Pembela_Islam

Ridwan, Nur Khaliq. 2008. Regenerasi NII: Membedah Jaringan Islam Jihad Di Indonesia. Jakarta: Erlangga
Qardhawi, Yusuf. 1985. Islam Ekstrem – Analisis dan Pemecahannya. Bandung: Mizan
Burhanudin, Asep. 2005. Ghulam Ahmad – Jihad Tanpa Kekerasan. Yogyakarta: LKIS
al-Haidari, Sayyid Kamal. 2003. Jihad Akbar. Bandung: Pustaka Hidayah
Madjid , Nurcholish.1999. Cita-cita Politik Islam Era Reformasi. Jakarta: Paramadina

Tidak ada komentar: