Rabu, 10 Desember 2008

NASIONALISME UNTUK PLURALISME (TINJAUAN TEOLOGIS KRISTEN)

Bangsa Indonesia adalah bangsa yang plural. Pluralitas yang ada pada bangsa Indonesia selama bertahun-tahun mampu hidup bersama walaupun dipenuhi dengan berbagai masalah. Berbagai masalah yang muncul disebabkan berbagai macam hal, dari kesalahpahaman sampai pada disebabkan kepentingan politik tertentu. Di dalam masyarakat dikenal istilah pluralisme. Sebagian masyarakat ada yang mengerti betul makna pluralisme ini tapi ada sebagian yang tidak. Sebagian orang yang mengerti pun belum benar-benar mengerti makna pluralisme yang sebenarnya. Banyak kekaburan mengenai makna pluralisme itu sendiri.
Beberapa orang mencoba merumuskan apa makna pluralisme itu. Salah satu komunitas masyarakat yang mencoba merumuskan makna pluralisme adalah umat Muslim di Indonesia. Nampaknya umat Muslim di Indonesia ini merasa perlu merumuskan makna pluralisme dan berdasarkan hal ini umat Muslim di Indonesia mencoba merumuskan pluralisme melalui adanya fatwa MUI. Fatwa MUI inilah yang coba saya tinjau mengenai paham pluralisme yang dimaksud umat Muslim. Keluarnya fatwa MUI ini tentu berdasar pada pandangan teologi agama Islam, namun dalam kalangan umat muslim sendiri banyak menuai protes dan kritik. Nampaknya paham pluralisme yang diutarakan ini belum sanggup mewadahi paham umat-umat muslim di Indonesia.

Sebagai orang Kristen kita juga perlu banyak mengerti mengenai paham pluralisme ini. Apakah sikap kita dan bagaimana paham kita mengenai pluralisme? Banyak orang Kristen bahkan kaum intelektual yang beragama Kristen kurang mengerti mengenai paham pluralisme. Perlu disadari lagi bahwa ada agama dan kepecrayaan lain di luar Kristen yang harus dihormati maka dari itu kita perlu mengambil sikap kita terhadap agama-agama dan kepercayaan-kepercayaan itu. Sikap yang kita ambil tersebut coba dirumuskan dalam pluralisme Kristen.

Pluralisme dirumuskan di dalam berbagai macam agama dan kepercayaan. Dalam kehidupan beragama pasti kita akan selalu bertemu dengan perbedaan-perbedaan kepercayaan lain. Ketika kita bertemu dengan perbedaan paham pluralism ini maka kita perlu berdialog dan dalam berdialog seharusnya juga kita mengerti tentang pluralisme seperti apa yang dianut oleh agama dan kepercayaan lain tersebut. Salah satu perbedaan pluralisme dari agama lain yang akan kita temui di Indonesia ini adalah pluralisme dalam Islam karena itu kita perlu mengenal pluralisme dalam Islam dan berusaha mendialogkannya.
Sebagai umat Kristen yang hidup di dalam pluralitas, maka kita perlu menengok keluar dan paling tidak kita sedikit memahami pluralisme apa yang dimiliki oleh “tetangga” kita. Agama Islam merupakan agama yang mayoritas yang dipeluk oleh rakyat Indonesia dan penting bagi kita sedikit mngetahui pluralisme dalam Islam. Pluralisme di dalam Islam saat ini sangatlah mempengaruhi perkembangan pluralisme di Indonesia maka dari itu perlu untuk mengetahui pluralisme seperti apa yang berkembang di masyarakat.
Guna menjawab masalah pluralitas di Indonesia banyak yang sudah melakukan usaha-usaha untuk berdialog, tapi ternyata dialog berujung pada perselisihan dan konflik. Nampaknya ada yang lain yang diperlukan dalam melakukan dialog antar agama, kepercayaan, atau paham. Hal itu adalah semangat nasionalisme. Semangat nasionalisme perlu ditekankan dalam suatu dialog agar ketika dialog diadakan yang ditekankan bukanlah kepentingan diri sendiri maupun kelompok yang yang berdialog, melainkan kepentingan bangsa Indonesia. Semangat nasionalisme akan mempersatukan perbedaan-perbedaan yang ada pada bangsa Indonesia dan akan mengarahkan kepada suatu harmoni.

Definisi Pluralisme

Hal yang pertama perlu dilakukan sebelum kita meninjau pluralisme yang ada di luar agama Kristen terlebih dahulu. Ada banyak kekaburan mengenai paham pluralisme itu sendiri, terutama di tengah-tengah masyarakat Indonesia. Pluralisme dipahami dengan berbagai makna. Definisi pluralisme sendiri dibagi dua, definisi umum dan definisi khusus. Definisi umum pluralisme menurut ilmu sosial adalah sebuah kerangka di mana ada interaksi beberapa kelompok-kelompok yang menunjukkan rasa saling menghormat dan toleransi satu sama lain. Mereka hidup bersama (koeksistensi) serta membuahkan hasil tanpa konflik asimilasi. Definisi umum lain dikemukakan oleh Diana L. Eck adalah keberagaman atau majemuk dengan ikatan aktif kepada kemajemukan tersebut, toleransi dengan usaha aktif untuk memahami orang lain, dan pertautan komitmen antara komitmen religius yang nyata dan komitmen sekuler yang nyata. Pluralisme ini didasarkan pada perbedaan, bukan kesamaan selain itu ia juga mengutarakan bahwa pluralisme adalah sebuah ikatan.

Perbincangan masyarakat mengenai pluralisme seringkali mencampuradukkan makna pluralisme umum dan makna pluralisme secara khusus. Yang dimaksud dengan definisi pluralisme secara khusus adalah suatu paham mengenai hidup dalam pluralitas yang dianut oleh individu maupun kelompok sesuai dengan apa yang ia yakini ataupun sesuatu yang ia anut, salah satunya adalah agama atau kepercayaan lain.

Pluralisme yang dikenal di tengah masyarakat Indonesia adalah paham mengenai agama atau kepercayaan lain akan paham dalam hidup di tengah pluralitas saja, padahal pluralisme ini juga mencakup banyak perbedaan-perbedaan, yaitu semua jenis agama, kepercayaan, sekte maupun berbagai jenis ideologi modern seperti komonisme, humanisme, sekularisme, nasionalisme, dan lainnya. Karena dalam paper ini akan membahas mengenai pluralisme agama, maka penting bagi kita untuk mengetahui apa sebenarnya pluralitas agama itu sendiri. Jika “pluralisme” dirangkai dengan “agama” sebagai predikatnya, maka berdasarkan pemahaman tersebut di atas bisa di katakana bahwa “pluralisme agama” adalah kondisi hidup bersama (koeksistensi) antara agama (dalam arti yang luas) yang berbeda-beda dalam satu komunitas dengan tetap mempertahankan ciri-ciri spesifik atau ajaran masing-masing agama.

b. Pluralisme yang Berkembang di Indonesia
Bangsa Indonesia pada dasarnya menyadari bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang plural. Bangsa ini paham akan hal ini, tapi yang disayangkan adalah tidak adanya sikap yang jelas dari masing-masing individu ataupun kelompok mengenai sikap apa yang harus diambil dalam menanggapi perbedaan-perbedaan yang ada di luar dirinya. Jadi, nampaknya rakyat Indonesia hanya mengetahui adanya pluralitas, namun belum banyak mengenal pluralisme. Ketika Negara ini didirikan, Negara ini memiliki “Bhineka Tunggal Ika”. Dengan berdasarkan pada pemahaman ini Negara ini didirikan, namun nampaknya Negara ini tidak mengerti baagaimana perbedaan-perbedaan harus disikapi.

Saat ini perbincangan mengenai pluralisme di tengah masyarakat Indonesia menjadi suatu topik yang hangat untuk dibicarakan. Masing-masing agama maupun kepercayaan tidak tinggal diam dan mereka mulai mencoba menggali apa itu pluralisme dan beberapa pihak ada yang takut kalau identitasnya akan tertelan oleh pluralisme ini. Pemahaman pluralisme yang nampaknya kurang cukup baik dimengerti oleh masyarakat Indonesia ternyata justru menyebabkan polemik. Saat ini pluralisme yang menjadi polemik di Indonesia terjadi karena perbedaan mendasar antara pluralisme dengan pengertiannya secara umum sehingga memiliki arti :

• pluralisme diliputi semangat religius, bukan hanya sosial kultural
• pluralisme digunakan sebagai alasan pencampuran antar ajaran agama
• pluralisme digunakan sebagai alasan untuk merubah ajaran suatu agama agar sesuai dengan ajaran agama lain.

Jika melihat kepada ide dan konteks konotasi yang berkembang, jelas bahwa pluralisme di indonesia tidaklah sama dengan pluralisme sebagaimana pengertiannya secara umum. Hal ini pada akhirnya tidaklah mengherankan jika kondisi ini memancing timbulnya reaksi dari berbagai pihak. Pertentangan yang terjadi semakin membingungkan karena munculnya kerancuan bahasa. Sebagaimana seorang mengucapkan pluralisme dalam arti umum akan bingung jika bertemu dengan kata pluralisme dalam arti khusus. Bagi mereka yang memahami pluralisme secara umum saja, maka mereka akan menganggap sebagai suatu kemunduran dalam kehidupan berbangsa dan bernegara karena keseragaman nampaknya memang bukan suatu pilihan yang baik bagi yang terdiri atas berbagai suku, bermacam ras, agama dan sebagainya. Di lain pihak penganut paham pluralisme secara khusus hal ini berarti suatu tekanan terhadap ajaran agama yang mereka kembangkan karena ajaran agama yang mereka kembangkan justru menjadi berhenti perkembangannya.

Karena adanya kualitas pendidikan yang kurang baik, dapat kita ketahui bahwa kebanyakan penduduk indonesia kurang kritis dalam menangani suatu informasi. Sebuah kata yang masih rancu pun menjadi polemik karena belum adanya kemauan untuk mengkaji lebih dalam. Emosi dan perasaan tersinggung seringkali melapisi aroma debat antar tiga pihak yaitu :

1. penganut pluralisme dalam arti khusus
2. penganut pluralisme dalam arti umum
3. penganut anti-pluralisme (yang sebenarnya setuju dengan pluralism dalam arti non-asimilasi).

Ada beberapa hal lain yang memperumit masalah pluralisme di Indonesia. Direktur Eksekutif Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Jajat Burhanudin mengatakan “bangsa Indonesia menghadapi masalah serius dalam pluralisme. Dalam tataran wacana, masyarakat memahami keniscayaan kehidupan yang plural, tetapi di tataran empirik masih rendah." Ia juga menambahkan bahwa walaupun sebenarnya tradisi sudah lama bersentuhan dengan Islam, tradisi keagamaan masyarakat yang toleran dengan budaya lokal terusik oleh cara beragama yang eksklusif terjadi karena gencarnya penyebaran faham agama yang provokatif. Paham ini berkembang marak sejak reformasi.

c. Pluralisme dalam Islam di Indonesia

Pluralisme di dalam agama Islam ini saya batasi hanya dalam komunitas bangsa Indonesia saja, karena jika kita menyinggung pluralisme Islam itu sendiri pasti akan berbeda-beda dan sangat beragam karena Islam sendiri tidak dipeluk oleh bangsa Indonesia saja, tapi banyak bangsa lainnya. Pluralisme Islam di Indonesia sendiri beragam, ketika fatwa yang dikeluarkan oleh Majelis Ulama Indonesia mengenai pluralisme, liberalisme dan sekularisme dibuat saja banyak orang yang mengecam dan mengkritik MUI karena mereka kurang setuju dengan apa yang diungkapkan oleh MUI. Dari sini saja sudah nampak keragaman Islam itu sendiri. Islam di Indonesia bukanlah Islam yang satu paham secara keseluruhan, meskipun seringkali disebut sebagai Islam yang “sama”. Ketika MUI mengeluarkan fatwa mengenai pluralisme, liberalisme dan sekularisme muncul banyak perbincangan mengenai pluralisme itu sendiri di tengah-tengah masyarakat Indonesia terutama di internet. Nampaknya kemunculan fatwa MUI tersebut memancing kalangan intelektual untuk angkat bicara mengenai pluralisme.

Untuk mengerti apa itu pluralisme di dalam Islam melalui fatwa MUI maka perlu bagi kitamengetahui seperti apa sebenarnya fatwa yang dikeluarkan Majelis Ulama Indonesia tersebut. Fatwa tersebut berisi:

1. Pluralisme agama adalah suatu paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama dan karenanya kebenaran setiap agama adalah relatif; oleh sebab itu, setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang benar sedangkan agama yang lain salah. Pluralisme juga mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan masuk dan hidup dan berdampingan di surga.

2. Pluralitas agama adalah sebuah kenyataan bahwa di negara atau daerah tertentu terdapat berbagai pemeluk agama yang hidup secara berdampingan.
3. Liberalisme adalah memahami nash-nash agama (Al-Qur'an & Sunnaah) dengan menggunakan akal pikiran yang bebas; dan hanya menerima doktrin-doktrin agama yang sesuai dengan akal pikiran semata.

4. Sekularisme adalah memisahkan urusan dunia dari agama hanya digunakan untuk mengatur hubungan pribadi dengan Tuhan, sedangkan hubungan sesama manusia diatur hanya dengan berdasarkan kesepakatan sosial.

Dari fatwa semacam ini muncul banyak polemik serta banyak kritik dan kesalahpahaman akan pluralisme. Kritik dan berbagai kecaman bukan dari luar komunitas pemeluk agama Islam, melainkan datang dari komunitas pemeluk agama itu sendiri. Kaum intelektual Muslim lebih sering mengkritik pluralisme di dalam fatwa yang dikeluarkan MUI tersebut dengan mencoba kembali pada makna pluralisme secara umum. Kalau diamati nampaknya ada dua macam pluralisme yang saat ini dikenal dan berkembang dalam Islam, yaitu pluralisme yang dikeluarkan MUI, suatu pluralisme yang sifatnya menganggap bahwa semua agama atau kepercayaan lain adalah sama saja dan pluralisme yang lebih banyak dikenal kalangan intelektual yang menganggap bahwa pluralisme itu sebuah toleransi dan penghormatan untuk berusaha memahami orang lain secara aktif tanpa harus mengingkari ciri khas dari masing-masing individu ataupun kelompok.

Pluralisme di dalam Islam nampaknya memiliki banyak kerancuan, terlebih setelah keluarnya fatwa MUI. Nampaknya kaum-kaum intelektual Muslim yang tergabung dalam Majelis Ulama Indonesia juga belum memahami apa itu pluralisme sebenarnya, dan ini membuat pluralisme dinilai negatif oleh umat Muslim Indonesia maupun rakyat Indonesia selain Muslim. Nampaknya perlu ada suatu dialog antara umat Muslim sendiri guna memahami pluralisme agar pada akhirnya tidak menyebabkan perpecahan diantara umat Muslim sendiri maupun rakyat Indonesia secara keseluruhan. Saya yakin bahwa sebenarnya umat Muslim sendiri banyak yang mengerti akan makna pluralisme yang sebenarnya, hanya saja seringkali dialog kurang ditekankan.

Pluralisme yang berkembang di tengah-tengah umat Muslim saat ini nampaknya dikarenakan sikap eksklusifisme dari umat Muslim sendiri, sehingga terburu-buru mengatakan bahwa pluralisme adalah sesuatu yang buruk karena takut kepercayaannya itu terlindas oleh kepercayaan lain.

d. Tindakan Gereja Menanggapi Pluralisme

Ada suatu polemik mengenai pluralisme di Indonesia, tapi apakah kita sebagai umat Kristen mengetahui hal ini atau kita tahu apa harus kita lakukan. Kekristenan saat ini juga sedang berada dalam tahap pengembangan pluralisme di tengah-tengah umatnya. Untuk saat ini nampaknya banyak umat Kristen yang kurang memberi perhatian akan masalah semacam ini. Tak jarang orang Kristen sibuk sendiri dengan urusan gereja tanpa mau tahu masalah yang ada di masyarakat. Nampaknya sebagian umat Kristen juga menganggap pluralisme sebagai paham yang meyatakan bahwa semua agama adalah sama saja dan bersifat relatif. Saya menduga kalau ini juga berkembang di kalangan umat Kristen, karena umat Kristen juga terkadang bersifat kurang kritis menghadapi masalah atau dalam menerima informasi di tengah masyarakat. Hal ini juga mungkin dikarenakan kualitas pendidikan bangsa Indonesia yang rendah. Saya berpikir kalau fatwa yang dikeluarkan MUI mengenai pluralisme juga turut mempengaruhi pandangan umat Kristen mengenai pluralisme.

Kita juga perlu bercermin dari umat Muslim. Paling tidak mereka mengajarkan mengenai makna pluralisme kepada umatnya, walaupun makna pluralisme yang diungkapkan tersebut bukanlah makna pluralisme itu sendiri. Akan tetapi yang perlu kita lihat adalah usaha untuk memberi pengertian kepada umat Kristen mengenai pluralisme dan pentingnya pluralisme itu sendiri. Kita lihat kurang adanya pengertian dan pengenalan mengenai pluralisme di tengah-tengah umat Kristen. Kekurangan ini menyebabkan kekristenan menjadi bersifat eksklusif dan membuat umat Kristen menjadi komunitas yang terasing di tengah masyarakat. Tidak adanya pengertian tentang pluralisme membuat umat Kristen merasa dirinya paling benar dan yang di luar Kristen adalah salah, maka dari itu umat Kristen senantiasa berusaha “mempertobatkan” orang yang memiliki kepercayaan lain daripada dirinya.

Gereja yang bersifat eksklusif tak jarang juga menyebabkan pluralisme sulit untuk masuk di dalamnya. Gereja malah tidak menjalankan misinya sebagai terang dan garam tapi malah mengasingkan diri dari masyarakat. Sikap gereja ini menyebabkan pengajaran dari Gereja mengenai pluralisme itu sendiri menjadi tidak tumbuh subur disana. Gereja yang seharusnya menjadi tempat pengajaran justru menjadi tempat orang-orang asing. Jika gereja saja tidak mempedulikan masalah pluralisme, bagaimana ia bisa menunaikan kasih Kristus dan membawa terang Kristus?

RELEVANSI
a. Apakah dialog menyelesaikan masalah?
Ketika muncul polemik mengenai pluralisme di Indonesia, muncul juga suatu pertanyaan yang memperlihatkan kebimbangan masyarakat akan fungsi dialog. Beberapa kalangan mempertanyakan apakah dialog akan menjawab masalah pluralitas dan pluralisme di Indonesia. Beberapa kalangan pluralis muak akan istilah dialog. Dialog seringkali hanya menjadi arena perdebatan yang berujung pada kesepakatan untuk tidak sepakat. Dialog dalam kerangka ini nampaknya tidak menyelesaikan masalah, namun malah memperkeruh suasana. Hal ini nampaknya dikarenakan dialog yang tidak dilandasi rasa toleransi dan justru dilandasi sifat eksklusif.

Banyak yang mengatakan bahwa dialog adalah cara untuk menjawab masalah pluralitas dan pluralisme. Bahkan banyak teolog pluralis yang mengatakan bahwa harus selalu ada dialog. Dapat kita lihat bahwa dialog yang telah dilakukan ternyata tidak bisa menjawab masalah pluralisme.

Nampaknya dialog yang seringkali dilakukan bukan dengan cara yang benar. Bagaimana dialog bisa tercapai jika pihak-pihak yang berdialog sebenarnya tidak menginginkan dialog itu? Dialog dilakukan bukan dengan kesadaran akan pentingnya dialog itu sendiri, melainkan berdasarkan keterpaksaan. Dialog semacam ini bukannya berujung pada harmoni, melainkan hanya melanjutkan permusuhan dan konflik yang sudah terjadi.

b. Apakah Paham Pluralisme di Tengah-tengah Masyarakat Indonesia Menyelesaiakan Masalah?
Paham pluralisme yang menganggap semua agama sama dan kebenaran bersifat relatif telah tersebar di masyarakat. Hal ini menyebabkan masyarakat menghindari dan membenci pluralisme, belum lagi penekanan-penekanan mengenai paham pluralisme yang “salah” dari beberapa pemuka agama yang tidak mengerti betul mengenai pluralisme itu sendiri. Paham pluralisme di Indonesia ternyata berkembang dalam citranya yang buruk. Para pemeluk agama maupun penganut paham atau kepercayaan lain menjadi takut terlindas oleh perbedaan yang ada. Pluralisme yang sudah dianggap buruk oleh masyarakat seperti ini justru berpotensi menghentikan dialog yang sudah terjadi maupun yang akan terjadi. Yang disayangkan adalah mengenai dialog yang baik yang sudah tercipta harus hancur di tengah jalan. Pemahaman mengenai pluralisme sangat penting dalam upaya harmonisasi.

EVALUASI
Banyak masalah terjadi karena pluralitas di Indonesia. Menjawab masalah tersebut dibutuhkan pluralisme oleh setiap warga Negara Indonesia. Sebelum kita berangkat pada suatu dialog, hal yang perlu dilakukan adalah memperbaiki citra pluralisme di Indonesia. Fatwa MUI juga turut mempengaruhi citra pluralisme, maka dari itu perlu ada kerja sama dari umat muslim di Indonesia. Pluralisme merupakan langkah awal menuju dialog. Tanpa pluralisme maka dialog tidak akan berjalan dan sekalipun berjalan maka hanya berujung pada permusuhan dan konflik. Masing-masing pihak yang hendak berdialog sebaiknya memahami terlebih dahulu pluralisme dan memiliki paham pluralismenya sendiri.

Sebagai umat Kristen saya juga berharap bahwa umat-umat Kristen bisa menerima dan memahami pluralisme. Tak jarang eksklusifisme umat Kristen membawa pada konflik dan permusuhan di tengah-tengah masyarakat. Gereja perlu disadarkan lagi untuk melakukan panggilannya sebagai garam dan terang dunia. Bagaimana gereja bisa menjadi terang dan garam dunia jika saja gereja masih menutup diri dari lingkungan sekitarnya? Gereja yang mengasingkan dirinya di masyarakat tentu tidak akan dapat melakukan tugas panggilannya. Hal yang perlu dilakukan oleh umat Kristen adalah menghindari eksklusifisme yang berlebihan hingga menghambat adanya dialog. Pluralisme itu sendiri juga penting untu diajarkan atau diberikan pemahamannya oleh gereja pada masing-masing jemaat.

Hal yang sangat perlu ditekankan adalah mengenai kesadaran dari masing-masing pihak yang mau berdialog akan pentingnya dialog, karena tanpa hal ini maka eksklusifisme akan senantiasa mewarnai dialog tersebut. Saya tidak mengatakan bahwa eksklusifisme itu buruk sama sekali karena tanpa eksklusifisme, agama dan kepercayaan atau paham lain yang kita anut menjadi relatif. Harus ada yang dipegang di dalam dialog itu sendiri dan di dalam dialog tersebut kita tidak perlu membuang jati diri kita. Dialog berangkat dari perbedaan dan bukan dari persamaan, karena ketika kita berangkat dari persamaan maka kita selalu mencari-cari hal yang sama dengan lawan dialog kita dan ketika sudah tidak ditemukan maka kita memaksakan apa yang kita punya terhadap mereka. Eksklusifisme dibutuhkan di dalam tatanan tertentu, tapi juga bisa tidak dibutuhkan dalam tatanan tertentu.

Hal yang perlu dilakukan dalam memulai suatu dialog adalah menyadari pentingnya dialog dengan tujuan menciptakan suatu harmoni dari perbedaan-perbedaan yang ada bukan dengan maksud harus ada kesepakatan untuk menganggap bahwa semua agama adalah sama. Hal lain yang perlu ditekankan dalam dialog adalah bahwa kebenaran dan Tuhan tidak bersifat relatif.

Melihat pluralisme yang tersebar di masyarakat saat ini, nampaknya pemerintah Indonesia sendiri perlu meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia. Warga Negara Indonesia bersikap kurang kritis terhadap isu pluralisme di tengah-tengah masyarakatnya, beberapa dari mereka malah tidak menghiraukan masalah di masyarakat. Masih banyak yang menganggap bahwa ini adalah masalah pemerintah. Kualitas pendidikan yang baik diharapkan menghasilkan rakyat yang kritis dan juga nasionalis. Saya pikir perlu juga ditimbuhkembangkan rasa nasionalisme pada rakyat Indonesia. Nasionalisme membawa rakyat pada usaha memberikan yang terbaik bagi negaranya, bukan bagi kelompoknya semata-mata. Nasionalisme juga membawa masyarakat ingin menciptakan harmonisasi bagi bangsanya dan yang pasti melalui pluralisme dan dialog. Jadi rasa nasionalime juga membangkitkan semangat rakyat Indonesia untuk melakukan dialog.
Semangat nasionalisme suatu semangat yang sangat dibutuhkan oleh bangsa Indonesia.
Semangat ini dibutuhkan untuk mengharmonisasi setiap perbedaan yang ada. Di sini yang coba ditekankan adalah bahwa perbedaan yang ada bukanlah untuk kita samakan melainkan untuk dibuat menjadi suatu harmoni. Rasa nasionalisme sebaiknya juga ditumbuhkan di dalam pendidikan akademis. Yang dilakukan pemerintah di dalam sekolah saya pikir sudah baik tapi belumlah cukup karena dapat dilihat hasilnya bahwa rasa nasionalisme pemuda-pemudi zaman sekarang sangatlah surut. Pelajar-pelajar maupun mahasiswa sendiri biasanya juga justru meniru budaya-budaya yang berasal dari Negara lain dan saya pikir ini hal yang mengecewakan. Di dalam kehidupan pelajar dan mahasiswa pun sering terjadi bentrok yang disebabkan oleh SARA, walaupun awalnya hanya masalah sepele. Begitu mudahnya bangsa kita dipecah belah dan saya menganggap bahwa hal ini semua dikarenakan rasa nasionalisme dari bangsa Indonesia yang surut.

Nasionalisme juga perlu dikembangkan dalam kehidupan beragama. Saya menyarankan agar dalam ajaran agamanya, masing-masing agama juga tidak melupakan penekanan akan pentingnya nasionalisme. Karena tak jarang juga perbedaan ajaran agama menyebabkan perselisihan. Dengan adanya semangat nasionalisme diharapkan para penganut agama menyadari bahwa meskipun apa yang mereka pahami dan imani adalah berbeda, tetapi yang perlu diingat adalah bahwa kita adalah satu di dalam ikatan persaudaraan sebangsa dan setanah air.

Dalam melakukan tugas panggilannya gereja seringkali mengatakan bahwa mereka membawa semangat kasih Kristus. Tapi ada satu hal yang seringkali dilupakan oleh gereja adalah mengenai rasa nasionalisme di dalam tindakannya. Gereja juga memerlukan ini karena gereja di Indonesia adalah bagian dari bangsa Indonesia dan bukan merupakan komunitas yang terasing. Ketika gereja bergerak dengan turut menyertakan semangat nasionalisme maka gereja benar-benar menjadi terang dan garam, selain itu juga berarti gereja akan mampu menebarkan kasih Kristus yang sebenarnya pada sesamanya dan tanpa ada kecurigaan dari semua pihak.

KESIMPULAN


Pluralisme adalah hal yang sangat diperlukan oleh masyarakat Indonesia. Masyarakat Indonesia sangat memerlukan pemahaman akan pluralisme dengan benar dan perlu untuk mengembangkan pluralismenya masing-masing. Paham pluralisme secara khusus diperlukan agar perbedaan yang ada tidak hilang maksudnya adalah agar masing-masing orang memahami pluralisme sesuai dengan jati diri dan apa yang ia yakini.

Guna menumbuhkan semangat pluralisme di tengah masyarakat Indonesia hal pertama yang perlu dilakukan adalah melalui jalan nasionalisme. Semangat nasionalisme bangsa Indonesia yang mulai surut harus dibangkitkan kembali karena dengan semangat ini rakyat Indonesia akan mempertahankan keutuhan bangsanya. Guna mempertahankan semangat kesatuan tersebut maka dengan sendirinya rakyat akan menyadari perlunya pluralisme untuk memperthankan keharmonisan bangsanya. Maka dari itu saya menekankan pentingnya rasa nasionalisme dalam diri setiap warga Negara bangsa Indonesia terkhusus juga pada umat Kristen. Umat Kristen harus berangkat dari semangat untuk menyebarkan kasih Kristus demi persatuan bangsa dan Negara di Indonesia. Bukan hanya pluralisme itu sendiri yang diperlukan melainkan juga nasionalisme. Nasionalisme adalah suatu langkah awal yang perlu dituju guna mencapai pluralisme dan dialog.

TINJAUAN TEOLOGIS


Pluralisme yang muncul di tengah masyarakat akibat adanya fatwa yang dikeluarkan MUI adalah bukan makna pluralisme itu sendiri. Pluralisme yang beredar di tengah masyarakat tersebut jelas berbeda dengan pluralisme di kalangan Kristen itu sendiri. Saya menganggap bahwa pluralisme khusus yang dikembangkan di dalam kekristenan sendiri sudah sangat baik, hanya saja yang disayangkan adalah bahwa hal ini baru mencapai tingkat akademis saja. Koreksi bagi gereja sendiri adalah terutama mengenai perlunya pengajaran mengenai pluralisme bagi jemaatnya. Hal lain yang diperlukan adalah semangat nasionalisme di dalam tubuh gereja. Gereja saat ini masih bersifat eksklusif dan menjauh dari lingkungannya. Jemaat yang juga adalah sebagai warga Negara Indonesia seringkali semangat nasionalismenya terlindas oleh eksklusifisme gereja. Semangat nasionalisme yang tadinya dimiliki jemaat gereja menjadi hilang dan membuat jemaat kehilangan rasa kebangsaannya. Saya juga tidak menekankan bahwa yang terpenting adalah semangat nasionalisme semata-mata, tetapi perlu ada keseimbangan antara semangat nasionalisme dan iman seseorang, agar warga jemaat tidak kehilangan jati dirinya ketika dia menjadi seorang Kristen.