Selasa, 02 Juni 2009

Pemanasan Global Ditinjau dari Etika Kristen dan Peran Gereja dalam Menyikapinya

1. Pendahuluan
Pemanasan Global adalah istilah lingkungan yang sering kita dengar. Banyak orang yang berbicara mengenai pemanasan global tanpa mengetahui apa sebenarnya pemanasan global itu dan bagaimana mencegah terjadinya pemanasan global. Pemanasan global adalah salah satu masalah etika khususnya etika lingkungan. Pemanasan global diakibatkan oleh pola tingkah laku dan perbuatan manusia yang kurang menghargai alam. Manusia saat ini tidak begitu menganggap penting perlindungan terhadap alam. Alam cenderung hanya dijadikan sebagai objek untuk dieksploitasi semata. Alam tidak lagi diperhitungkan esensi dan perananannya.
Maraknya eksploitasi akibat rasa tidak menghargai pada alam juga disebabkan oleh pengruh-pengaruh ajaran agama tertentu khususnya agama Kristen. Pemahaman dan ajaran gereja lebih banyak berkutat pada manusia. Hubungan antara manusia dan alam hampir sama sekali tidak disentuh oleh gereja. Teologia Kristen yang berkembang di dalam gereja saat ini cenderung antroposentrik. Ajaran gereja seringkali hanya upaya menata hubungan manusia antar pribadi saja, tapi tidak menata hubungan manusia dengan alam.
Semestinya gereja membawa damai tidak hanya untuk manusia saja tapi untuk seluruh dunia dan isinya. Hubungan yang terjalin antara manusia dan alam saat ini justru rusak dan bisa dikatakan saling bermusuhan. Manusia membabat mengeksploitasi alam dan pada akhirnya alam yang membinasakan manusia. Pendamaian dengan Allah seharusnya juga pendamaian dengan alam yang mana alam merupakan bentuk kehadiran Allah. Bagaimanakah seharusnya umat Kristen bersikap atas hal ini?
Etika memiliki peranan penting didalam menjawab masalah-masalah ini. Saat ini umat Kristen dan gereja memerlukan suatu etika lingkungan yang melihat masalah-masalah lingkungan ini dari sudut pandang teologi Kristen. Karena tak jarang gereja cenderung apatis dan sibuk dengan masalah intern di dalam gereja. Gereja perlu sadar akan hubungan yang rusak antara manusia dan alam. Dengan kesadaran gereja niscaya kedamaian tidak hanya dirasakan oleh manusia tapi juga oleh alam ini.
2. Isi
2.1 Apa itu pemanasan global?

Sebagian masyarakat menggunakan istilah pemanasan global atau juga lebih sering disebut “Global Warming”. Masyarakat mengenal istilah ini tapi banyak diantara mereka kurang paham apa itu global warming dan apa yang menyebabkan global warming. Dalam ketidakpahaman ini justru membuat mereka bersikap apatis. Langkah awal yang seharusnya ditempuh dalam penanganan global warming adalah dengan memberi pengertian kepada masyarakat baru kemudian menanamkan kepedulian terhadap hal ini, akan tetapi yang banyak terjadi adalah sekedar upaya menanamkan kepedulian tapi tidak memberikan pengertian yang jelas akan makna pemanasan global itu sendiri. Tanpa pengertian akan pemanasan global ini jelas saja masyarakat bersikap apatis karena mereka tidak tahu pentingnya pencegahan terhadap permanasan global.
Masyarakat seringkali hanya mengetahui pemanasan global adalah sebagai efek rumah kaca tapi penyebab dan dampaknya tidak pernah diketahui. Pemanasan global adalah suatu peningkatan suhu di permukaan bumi yang disebabkan meningkatnya kadar karbondioksida (CO2), metana (CH4), dan dinitrooksida (N2O). Meningkatnya suhu global diperkirakan akan menyebabkan perubahan-perubahan yaitu naiknya permukaan air laut, meningkatnya intensitas fenomena cuaca yang ekstrim, serta perubahan jumlah dan pola presipitasi. Akibat-akibat pemanasan global yang lain adalah terpengaruhnya hasil pertanian, hilangnya gletser, dan punahnya berbagai jenis hewan.
2.2 Upaya Pengendalian Terhadap Pemanasan Global
Dalam menghadapi pemanasan global ini, kesadaran justru datang dari para ilmuwan. Mereka sadar bahwa ini merupakan masalah bagi kelangsungan umat hidup manusia dan perlu ada upaya-upaya penanganan yang intensif. Para ilmuwan meyakini bahwa langkah-langkah yang dilakukan dan sedang diskusikan saat ini tidak ada yang dapat mencegah pemanasan global di masa depan. Tantangan yang ada saat ini adalah mengatasi efek yang timbul sambil melakukan langkah-langkah untuk mencegah semakin berubahnya iklim di masa depan.
Guna mengendalikan pemanasan global maka langkah yang perlu dilakukan adalah dengan cara memperlambat semakin pertambahan jumlah gas rumah kaca. Ada dua pendekatan utama untuk memperlambat semakin bertambahnya gas rumah kaca. Pertama, mencegah karbon dioksida dilepas ke atmosfer dengan menyimpan gas tersebut atau komponen karbon-nya di tempat lain. Cara ini disebut carbon sequestration (menghilangkan karbon). Kedua, mengurangi produksi gas rumah kaca.
Untuk menghilangkan karbon dioksida di udara hal yang perlu dilakukan adalah dengan memelihara pepohonan dan menanam pohon lebih banyak lagi. Pohon, terutama yang muda dan cepat pertumbuhannya, menyerap karbon dioksida yang sangat banyak, memecahnya melalui fotosintesis, dan menyimpan karbon dalam kayunya. Di seluruh dunia, tingkat perambahan hutan telah mencapai level yang mengkhawatirkan. Di banyak area, tanaman yang tumbuh kembali sedikit sekali karena tanah kehilangan kesuburannya ketika diubah untuk kegunaan yang lain, seperti untuk lahan pertanian atau pembangunan rumah tinggal. Langkah untuk mengatasi hal ini adalah dengan penghutanan kembali yang berperan dalam mengurangi semakin bertambahnya gas rumah kaca.
Gas karbon dioksida juga dapat dihilangkan secara langsung. Caranya dengan menyuntikkan (menginjeksikan) gas tersebut ke sumur-sumur minyak untuk mendorong agar minyak bumi keluar ke permukaan (lihat Enhanced Oil Recovery). Injeksi juga bisa dilakukan untuk mengisolasi gas ini di bawah tanah seperti dalam sumur minyak, lapisan batubara atau aquifer. Hal ini telah dilakukan di salah satu anjungan pengeboran lepas pantai Norwegia, di mana karbon dioksida yang terbawa ke permukaan bersama gas alam ditangkap dan diinjeksikan kembali ke aquifer sehingga tidak dapat kembali ke permukaan.
Salah satu sumber penyumbang karbon dioksida adalah pembakaran bahan bakar fosil. Penggunaan bahan bakar fosil mulai meningkat pesat sejak revolusi industri pada abad ke-18. Pada saat itu, batubara menjadi sumber energi dominan untuk kemudian digantikan oleh minyak bumi pada pertengahan abad ke-19. Pada abad ke-20, energi gas mulai biasa digunakan di dunia sebagai sumber energi. Perubahan tren penggunaan bahan bakar fosil ini sebenarnya secara tidak langsung telah mengurangi jumlah karbon dioksida yang dilepas ke udara, karena gas melepaskan karbon dioksida lebih sedikit bila dibandingkan dengan minyak apalagi bila dibandingkan dengan batubara. Walaupun demikian, penggunaan energi terbaharui dan energi nuklir lebih mengurangi pelepasan karbon dioksida ke udara.
2.3 Kendala Dalam Upaya Pengendalian
Para ilmuwan sudah memberikan sumbangan pengetahuan dan upaya pengendalian yang cukup baik untuk ditawarkan pada kita. Masalah pemanasan global ini bukan lagi suatu masalah kelompok tertentu (para ilmuwan) saja, tetapi menjadi masalah bagi seluruh umat manusia. Saya pikir dampak dan penyebab pemanasan global sudah cukup baik disosialisasikan oleh para ilmuwan yang meneliti tentang hal ini. Jika sosialisasi tidak sampai dengan baik pada masyarakat, maka masyarakat tersebut tidak bisa dipersalahkan. Tetapi sebagian masyarakat yang sudah tahu dan mengerti akan hal ini nampaknya juga tidak mengalami perubahan dalam tindakan serta gaya hidup. Nampaknya tidak ada kesadaran dari diri mereka untuk melakukan upaya pengendalian pemanasan global. Saya merasa bahwa kebanyakan orang berpikir bahwa karena mereka tidak mengalami penderitaan akibat pemanasan global itu sekarang maka tidak ada masalah bagi mereka. Sikap orang cenderung melihat dampak yang dirasakan sekarang, orang lebih senang menikmati kesenangan hidupnya dalam konteks kekiniannya daripada memikirkan masa depan yang akan penuh penderitaan. Adanya hal ini dipengaruhi olah gaya hidup hedonisme yang salah.
Hedonisme adalah suatu paham yang menganggap bahwa hidup dijalani hanya untuk mengejar kenikmatan hidup. Hal ini jelas dan pasti dilakukan oleh semua orang. Semua orang pasti mencari apa yang menyenangkan dalam hidupnya, akan tetapi yang jadi masalah adalah apakah kesenangan dan kenikmatan itu dapat dipertanggungjawabkan? Dan apakah kesenangan dan kenikmatan itu adalah untuk hal yang sesaat saja? Pada hakikatnya hedoonisme bukanlah hal yang sama sekali salah. Tapi hedonisme yang salah kaprah dan hanya memikirkan kenikmatan hidup sesaat saja membuat pandangan hedonisme cenderung dicap negatif. Jika hedonisme dimengerti banyak sebagai kenikmatan dengan cara yang sebenarnya maka mungkin kesadaran masyarakat akan bahaya pemanasan global ini akan tumbuh.
Upaya-upaya pengendalian pemanasan global tentu tidak bisa dilakukan oleh para ilmuwan saja. Perlu ada kerjasama dari masyarakat dan pemerintah untuk benar-benar serius menanggapi hal ini. Upaya-upaya penyadaran bisa berasal dari sesama anggota masyarakat atau dapat dilakukan secara besar-besaran oleh pemerintah. Pemerintah memiliki peranan penting dalam upaya menyadarkan masyarakat. Adanya keputusan dan kebijakan yang dibuat dengan pemerintah sangatlah mempengaruhi lingkungan keadaan lingkungan hidup. Pemerintah perlu menentukan langkah-langkah prosedural yang tepat, benar dan dapat dipertanggungjawabkan guna menjawab masalah pemanasan global ini. Pemerintah harus menerapkan Undang-undang lingkungan hidup secara ketat, jujur dan konsisten.
Hal pokok yang menjadi masalah saat ini adalah menumbuhkan kembali kesadaran setiap orang akan masalah lingkungan yang sedang mereka hadapi. Jika setiap orang sudah sadar akan pentingnya dan bahaya pemanasan global maka tindakan seperti ilegal logging, korupsi dana rebosisasi dan sikap apatis dari setiap orang akan hilang dengan sendirinya. Dengan kesadaran dari masing-masing umat manusia maka kerjasama masyarakat dan orang-orang di pemerintahan akan timbul dengan sendirinya dan berupaya mengendalikan pemanasan global dengan serius.
2.4 Etika Lingkungan yang Berkembang
Etika lingkungan berkembang sejak awal tahun 1970-an. Masalah ekologi umumnya terkait dengan krisis moral terkait dalam usaha memahami ciri ketergantungan antara manusia dan makhluk hidup lainnya. Munculnya etika lingkungan pada dasarnya bermula dari kesadaran hakiki manusia dalam menghadapi keadaan hidup dan lingkungannya. Manusia menyadari bahaya yang akan terjadi karena adanya eksploitasi terhadap lingkungan. Akhirnya kesadaran ini mendorong manusia untuk membentuk sistem pemikiran ekologis dalam bersikap dan bertindak secara bertanggung jawab. Disini manusia mencoba kembali menemukan nilai alam semesta. chang
Adanya kerusakan lingkungan sebenarnya merupakan sebagai kurang adanya rasa bertanggung jawab dan kewajiban untuk menjaga kelangsungan system ekologi tempat manusia berada. Willian Chang setuju dengan pendapat Eugene P. Odum yang mengatakan bahwa etika lingkungan hidup adalah suatu pertimbangan fisiologis dan biologis mengenai hubungan antara manusia dan semua makhluk non-manusia. Disini manusia kembali memahami bahwa mutu hidup dan sosial amat tergantung akan keadaan lingkungan. Lingkungan yang sudah rusak tidak akan bisa mendukung kelangsungan hidup manusia dengan baik. Adanya perluasan etika ini meliputi hubungan manusia dengan lingkungan yang seharusnya menjadi bagian integral dari filsafat manusia. Etika lingkungan mencoba melihat kembali keterkaitan manusia dengan unsure-unsur jagatraya lainnya sebagai perhatian utama.
Ada beberapa teori tentang lingkungan hidup yang coba ditawarkan pada masyarakat. Beberapa teori ini adalah hasil pemikiran para etikus yang ikut merasa perlu dirumuskan suatu etika yang membina kehidupan bersama antara manusia dan alam semesta. Beberapa teori tersebut antara lain:
1. Human-centered ethic (Antroposentrisme)
Disini sekelompok orang berpikir bahwa rangkaian kebijaksanaan mengenai dinilai hanya berdasarkan pengaruh kebijaksanaan itu terhadap manusia. Titik beratnya adalah ada pada upaya peningkatan kesejahteraan dan kebahagiaan manusia di dalam alam semesta. Pandangan ini beranggapan bahwa hanya manusia saja yang pantas dipertimbangkan secara moral.
2. Animal-centered Ethic (Animalsentrisme)
Beberapa kelompok orang menganggap bahwa bukan hanya manusia yang perlu dipertimbangkan secara moral, melainkan dunia hewan juga. Dengan adanya pengerusakan lingkungan maka tidak hanya berdampak pada manusia saja melainkan pada hewan juga. Etika ini menekankan bahwa hewan juga harus dipertimbangkan secara moral. Ada perbedaan makna yang diberikan kepada masing-masing hewan. Misalnya, seekor nyamuk yang membawa penyakit malaria akan memiliki pertimbangan yang berbeda dengan seekor hiu. Secara moral manusia akan memberi penghargaan lebih kepada domba yang menghasilkan bulu secara aktif daripada domba yang tidak produktif dan banyak makan.
3. Life-centered ethic (Biosentrisme)
Disini ada anggapan bahwa makhluk hidup bukan hanya mencakup manusia dan hewan, tetapi juga memncakup tumbuh-tumbuhan, ganggang, organism bersel tunggal bahkan termasuk virus. Yang rumit dari etika ini adalah untuk menjawab petanyaan: “Apakah Hidup itu?” Disini penghargaan moral diberikan kepada makhluk hidup lain berdasarkan manfaat makhluk hidup itu sendiri bagi kehidupan manusia. Nampaknya disini juga ada sedikit pengaruh paham human-centered ethic.
Jika etika ini mengambil bentuk yang radikal, maka paham ini akan menekankan bahwa hidup dalam makhluk setiap ciptaan Tuhan memiliki makna moral yang sama. Dalam hal ini dibenarkan untuk membenarkan adanya pemaknaan yang berbeda pada setiap makhluk hidup.
4. Teori Nilai Intrinsik
Nilai merupakan sesuatu yang baik dan terkait dengan pribadi manusia yang mampu mendukung penyempurnaan diri manusia, sebab nilai menunjuk pada kesempurnaan atau kebaikan. Sebagai sesuatu yang berharga, nilai membantu manusia untuk mewujudkan kesempurnaan itu. Kemudian pengakuan ini diperluas ke dalam kalangan makhluk ciptaan lain di luar diri manusia. Pandangan ini memiliki dua gagasan pokok: (1) tiap makhluk hidup memiliki kebaikan di dalam dirinya, sehingga dengan mudah manusia dpat memanfaatkannya sesuai kehendak dan keperluan mereka; (2) adalah perlu untuk memandang bahwa makhluk-makhluk hidup lain bernilai dalam dirinya seperti yang diklaim oleh manusia. Kebaikan yang ada di dalam diri makhluk ciptaan lain selain manusia bukan pertama-tama karena makhluk itu berkesadaran diri atau berpengetahuan diri. Adanya kebaikan dari organism non-manusia tampak dan ditentukan oleh perkembangan dari kekuatan biologis.
Dari sini dapat dikemukakan dua arus pemikiran. Pertama, pendekatan yang dipandang memadai; apa saja yang berkebaikan di dalam dirinya berstatus moral dan pantas mempertimbangkan pertimbangan moral? Jika manusia menerima pertimbangan moral maka makhluk ciptaan lain non-manusia juga patut menerima pertimbangan moral, namun sejumlah makhluk ciptaan manusia yang bernilai intrinsik hanya sedikit mempunyai makna moral. Kedua, pendekatan ini dinilai kurang memadai; pendekatan ini bersifat ‘anti-antroposentrik’: semua pengada diandaikan bernilai sama. Pandangan ini secara radikal telah menggeser antroposentrisme dari dunia etika. Seharusnya pendekatan life-centered ethic tidak terpisahkan dari etika humanis, yang mengakui antroposentrisme moderat. Pendekatan antara antroposentrik dan teori nilai intrinsik saling menghidupi.
2.5 Gereja Saat Ini dan Pemanasan Global
Gereja adalah bagian dari masyarakat, akan tetapi apa yang membedakan gereja dengan masyarakat lainnya adalah bahwa gereja dipanggil oleh Kristus. Kristus memanggil gereja untuk bersama-sama-Nya membawa damai ke dalam dunia. Gereja adalah pengikut Kristus dan pengikut Kristus tidak mengikuti arus dunia ini.
Pada kenyataannya gereja seringkali lalai dalam melaksanakan tugas panggilannya sebagai pengikut Kristus. Gereja bukannya mengikuti teladan Kristus, tetapi justru terbawa oleh arus dunia. Yang sering terjadi gereja mengambil sikap yang sama dengan masyarakat biasanya dan melupakan identitasnya sebagai pengikut Kristus. Gereja cenderung apatis dan sibuk mencari kesenangan serta posisi amannya. Gereja tidak mau keluar dari area amannya sehingga setiap keputusan dan sikap yang diambil biasanya hanya mencari posisi aman saja.
Hal ini juga terjadi dalam sikap yang diambil gereja dalam menghadapi pemanasan global. Gereja di tengah-tengah masyarakat yang tidak sadar akan isu lingkungan khususnya pemanasan global justru terbawa pada arus ketidaksadaran itu. Gereja kurang peka terhadap masalah lingkungan dan tidak melakukan tindakan yang jelas. Gereja tidak sadar bahwa mereka juga ikut andil bagian di dalam percepatan terjadinya pemanasan global. Jika kita mengamati banyak gedung gereja yang megah yang juga banyak menggunaan AC secara berlebihan. Gereja juga menggunakan energi listrik secara berlebihan dengan banyaknya jumlah lampu-lampu yang gereja gunakan untuk menerangi gedung gereja. Kesadaran gereja akan hal ini nampaknya sangatlah minim.
2.6 Kritik Terhadap Ajaran Gereja yang Berkembang
Saat ini gereja cenderung bersikap apatis atau mungkin kebingungan mesti mengambil tindakan apa di dalam rangka menghadapi masalah pemanasan global. Gereja nampaknya tidak memiliki banyak pengalaman di dalam bidang lingkungan. Gereja lebih banyak mengurusi hal-hal yang berkaitan dengan hubungan antara manusia saja. Ketika gereja diperhadapkan dengan hal semacam ini maka gereja tidak tahu harus berbuat apa dan yang terjadi justru mengikuti arus dunia.
Banyak teolog lingkungan yang mengatakan bahwa teologi Kristen yang dikembangkan di dalam gereja masih bersifat antroposentrik. Hal ini menyebabkan ajaran gereja hanya berpusat pada manusia. Disini seseorang justru dididik bahwa segala sesuatu yang penting adalah baik untuk manusia dan ketika mengambil keputusan atau tindakan, seseorang cenderung tidak mempertimbangkan makhluk ciptaan lain. Salah satu akar permasalahan dari sikap apatis dan ketidaksadaran orang Kristen terhadap masalah lingkungan adalah disebabkan oleh hal ini. Maka dari itu perlu diperkenalkan pada gereja mengenai teologi yang sadar akan lingkungan.
2.7 Bagaimana Seharunya Gereja Menghadapi Masalah Lingkungan?
Masalah lingkungan tidak hanya menjadi masalah sekelompok orang yang peduli saja. Ini jiga merupakan masalah gereja sebagai bagian dari masyarakat yang juga ikut serta dalam tindakan pengerusakan lingkungan. Gereja juga perlu megambil sikap yang jelas dan tegas guna menghadapi krisis lingkungan yang terjadi. Gereja pun perlu merumuskan pandangan serta sikap apa yang akan di ambil. Gereja pun harus mengembangkan suatu etika Kristen yang sadar akan lingkungan.
Sebagai pegikut Kristus gereja perlu menyadari bahwa gereja dipanggil untuk membawa damai. Bukan hanya perdamaian antara Allah dengan manusia, melainkan perdamaian membawa perdamaian terseut pada semua makhluk. Sejak awal kehadiran Yesus hal ini sudah tersiar dan kalau kita coba perhatikan Berita Natal yang dibawa oleh para malaikat di padang Efrata kepada para gembala: “Kemuliaan bagi Allah di tempat yang mahatinggi dan damai sejahtera di bumi diantara manusia yang berkenan kepada-Nya” (Luk 2:14). Jika kita memperhatikan kalimat: “damai sejahtera di bumi di antara manusia yang berkenan kepada-Nya”. Kesejahteraan yang berkenan yang dibawa Yesus bukan hanya untuk kedamaian antara hubungan sesama manusia Allah, melainkan seluruh ciptaan. Salah satunya manusia juga perlu berdamai dengan alam ini.
Disini nampak jelas merupakan panggilan gereja untuk membawa berita baik dan perdamaian pada semua makhluk. Jika gereja sungguh-sungguh menghayati hal ini maka gereja tidak akan jatuh pada kecenderungan antroposentris atau yang lainnya. Dengan menghayati hal ini maka ini merupakan paham yang theosentris. Gereja tidak melakukan hal ini untuk menyejahterakan hidupnya semata-mata, bukan juga untuk kepentingan dirinya melainkan untuk melakukan tugas panggilan Allah untuk membawa damai di bumi. Pendamaian hubungan antara manusia dan Allah menjadi sesuatu yang membedakan etika lingkungan dengan etika Kristen.
Disini gereja pun tidak melakukan semua upaya pengendalian pemanasan global sebagai rasa takut karena akan mengalami dampak negatif dari krisis lingkungan ini. Gereja menjadi makhluk yang bebas dan di tidak tinggal berada di dalam ketakutan. Tugas membawa damai ini menjadi pelepas manusia dari belenggu ketakutan. Kebebasan manusia merupakan salah satu cirri terpenting dalam kehidupan Kristen, bahkan menjadi karunia Kistus kepada kita. Etika lingkungan yang Kristiani tidak bergerak di dalam bayang-bayang ketakutan lagi dan justru di dalam kebebasan ini etika Kristen bergerak. Gereja yang melakukan tugas panggilannya adalah gereja yang bebas.
Ajaran gereja sangat memperngaruhi perkembangan kepedulian umatnya terhadap lingkungan. Banyak ditemukan di gereja-gereja sikap orang yang apatis dan menerima apa yang terjadi. Ajaran eskatologis di dalam gereja juga sangat mempengaruhi hal ini. Makna kerajaan Allah yang sudak dekat memberi anggapan pada jemaat bahwa hal yang terjadi di dunia ini adalah hal yang sewajarnya. Banyak jemaat yang menganggap bahwa karena kerajaan Allah sudah dekat maka adanya krisis moral di masyarakat dan kerusakan lingkungan hidup adalah hal yang memang seharusnya terjadi. Terdapat kesalahan dala pemahaman jemaat mengenai kerajaan Allah yang sudah dekat ini. Karena hal ini mereka bersikap apatis dan lebih memikirkan kepentingan dirinya sendiri daripada memikirkan lingkungan ataupun masyarakat yang mengalami krisis moral. Hal ini nampak dari ajaran gereja (terutama kharismatik, namun tak dapat dipungkiri juga di dalam gereja mainstream) yang hanya memikirkan hubungan antara manusia dan hanya mementingkan keselamatan diri sendiri. Hal ini seringkali nampak dari perkataan: “Kerusakan moral dan kerusakan alam ini merupakan tanda-tanda akhir zaman, maka saudara-saudara harus segera bertobat”. Ada juga perkataan lain: “Ini memang sudah seharusnya terjadi, karena ini adalah tanda-tanda akhir zaman”.
Hal ini jelas salah dan perlu diperbaiki. Gereja seharusnya mempersiapkan kedatangan Allah dengan membawa damai, tidak hanya mengurusi dirinya sendiri, tetapi juga dengan memikirkan sesamanya dan lingkungannya. Ketika Yohanes mengajar untuk mempersiapkan kedatangan Kristus, ia mengutip tulisan Yesaya: “Persiapkanlah jalan untuk Tuhan dan luruskanlah jalan bagi-Nya” (Lukas 3:4). Disini nampak bahwa untuk mempersiapkan kedatangan Kristus, yang dilakukan bukanlah sibuk dengan diri sendiri. Melainkan gereja diutus keluar untuk mempersiapkan dan meluruskan jalan bagi Tuhan. Hal ini semestinya yang dihayati oleh gereja, bukannya justru sibuk dengan urusannya sendiri dan terus tinggal di dalam area kenyamannya.
Masalah politik berkaitan erat dengan masalah lingkungan hidup. Ada peningkatan kesadaran bahwa kekristenan juga memiliki wajah politik. Mereka yang beranggapan seperti ini meyakini bahwa nilai-nilai kekristenan perlu digabungkan dengan struktur politik masyarakat dan tidak cukup jika hanya dibatasi pada lingkup pribadi. Yang ditekankan disini bukan mengenai apakah kekristenan itu relevan dengan politik, tapi suatu upaya dialog antara teologi dan politik. Meskipun pada umumnya dipahami bahwa teologi politis berarti teologi condong kea rah politik sosialis kiri, tetapi hal ini merupakan suatu prasyarat yang dibutuhkan bagi teologi Kristen yang benar. Jika kita megamati di dalam PB, maka hal ini uga yang dilakukan oleh Kristus. Yesus tidaklah mempersekutukan diri dengan penguasa dan justru dengan mereka yang tidak memiliki kekuatan politis dan agama. Ia menantang kemapanan masyarakat Yahudi sendiri dengan demikian bergerak lebih jauh dari orang Zelot yang juga peduli terhadap kebebasan orang Yahudi dari penindasan Romawi. Yesus membebaskan orang Israel dengan membujuk orang Israel untuk berubah. Tanpa ada perubahan di dalam orang Israel sendiri pembebasan tidak akan mungkin dilakukan. Hal yang dilakukan oleh Yesus dalam keterlibatannya di dalam bidang politik ini juga adalah yang dilakukan oleh para nabi. Yesus lebih radikal dari orang Zelot karena ia menjungkirbalikan dan mempertanyakan kembali bidang kehidupan, politik, ekonomi, sosial dan agama.
Dengan mengikiti teladan Kristus yang seperti ini maka gereja bisa menjadi agen perubahan sama seperti yang Kristus lakukan. Keputusan politis yang dibuat saat ini perlu kembali dipertanyakan. Apakah mendukung kelangsungan hidup alam semesta beserta isinya? Perhatian gereja dalam bidang politik juga dapat membuat gereja bersuara lebih lantang berbicara dan menyuarakan Kristus. Tapi yang perlu kita hindari adalah jangan sampai justru gereja terbawa arus yang ada. Gereja harus benar-benar membawa damai dan terang dalam tatanan masyarakat saat ini.
2.8 Apa yang Dapat Dilakukan Gereja Dalam Menangani Pemanasan Global?
a. Meningkatkan kesadaran masyarakat

Hal terpenting adalah meningkatkan kesadaran masyarakat. Langkah yang ditempuh adalah menyadarkan masyarakat di dalam dan di luar gereja. Tanpa kesadaran akan pentingnya peduli terhadap lingkungan hidup tentu semua upaya pelestarian lingkungan tidak akan terjadi.
b. Melakukan penghijauan
Langkah konkret gereja lainnya adalah bisa dengan melakukan penghijauan. Penghijauan bisa dilakukan di dalam lingkungan gereja ataupu di luar lingkungan gereja. Upaya-upaya penanaman seribu pohon dengan bibit cepat tumbuh bisa sangat membantu mereduksi dampak pemanasan global. Gereja perlu menjadi gereja yang ramah lingkungan. Gereja seringkali dikenal dengan gedung-gedung yang besar dan megah. Tak jarang juga dalam pembangunannya menggunakan banyak kayu-kayu dan akan mengurangi jumlah tanaman di dunia yang sudah semakin menyusut. Semakin banyak kayu yang digunakan berarti semakin banyak pohon yang ditebang. Hal ini sangat merusak keseimbangan ekosistem.
c. Melakukan penghematan
Gereja dengan gedung-gedung yang megah dan berisikan kalangan ekonomi menengah keatas biasanya kurang memperhatikan penghematan. Gedung-gedung yang megah dengan lampu-lampu yang sangat banyak jumlahnya juga merupakan bentuk suatu pemborosan terhadap energi yang ada. Gereja perlu melakukan penghematan terhadap penggunaan energi listrik pada lampu ini. dengan menggunakan lampu secukupnya maka ini sudah menjadi upaya reduksi. Hal ini juga nampaknya perlu dihimbau kepada semua anggota gerejanya.
Gereja juga bisa menghimbau anggota jemaatnya untuk melakukan penghematan penggunaan bahan bakar fosil. Bahan bakar fosil biasanya menghasilkan zat buang CO2 dan hal ini jelas justru akan mempercepat dan memperparah dampak dari pemanasan global. Kalangan gereja yang dikenal sebagai kalangan ekonomi menengah ke atas biasanya memiliki kendaraan bermotor dan mobil. Bisa dihimbau pada anggota gereja untuk melakukan penghematan bahan bakar kendaraan. Misalnya sebuah keluara anggota gereja yang memiliki tiga mobil tidak perlu pergi ke gereja atau tempat lain dengan tiga mobil jika memang jumlah orang yang membutuhkan transportasi bisa dengan satu mobil. Penghematan sederhana seperti ini bisa banyak membantu mereduksi pemanasan global yang terjadi.
3. Penutup
Masalah pemanasan global merupakan masalah yang sangat luas. Masalah ini menyangkut kesadaran masyarakat dan masalah pemerintah. Jika masyarakat dan pemerintah melakukan kerjasama dengan baik maka niscaya akan ada upaya dan hasil yang memuaskan. Gereja sebagai bagian dari masyarakat pun memiliki peranan yang sangat penting. Gereja seharusnya menjadi terang dan menjadi agen perdamaian di dunia ini. Jika gereja menyadari tugas dan panggilannya ini maka masalah pemanasan global ini akan bisa direduksi.
Apa yang dibutuhkan masyarakat saat ini adalah penyadaran. Nampaknya masyarakat saat ini sedang tertidur pulas dan terlena dengan pemuasan kepentingan dirinya sendiri. Tugas dan panggilan gereja saat ini adalah untuk menyadarkan masyarakat, akan tetapi hal pertama yang perlu dilakukan pertama kali adalah menyadarkan gereja terhadap masalah lingkungan terlebih dahulu. Gereja sendiri pun sedang sibuk dengan urusan internnya. Gereja juga terlena dalam area amannya. Gereja harus kembali lagi menjadi terang dan garam bagi dunia ini. Gereja sadar bahwa dirinya adalah agen perdamaian yang diutus dan dipanggil Allah untuk mempersiapkan kedatangan Allah.
Hal lain yang perlu disadari saat ini adalah bahwa alam semesta bukanlah merupakan objek penggarapan atau objek untuk dieksploitasi. Gereja harus sadar dan menyadarkan bahwa alam ini juga memiliki peranan penting di dalam kelangsungan hidup manusia. Alam ini merupakan bentuk kehadiran Allah di dalam dunia. Wajah alam ini juga adalah wajah Allah. Manusia perlu menghargai pemberian tempat tinggal dari Allah, yaitu dunia ini. Kita perlu menjadikan rumah (oikos) kita dalam berekologi ini sebagai bukti pemeliharaan Allah terhadap manusia. Bukti kasih dan pemeliharaan Allah ini seharusnya bukanlah kita rusak melainkan kita jaga bersama.

DAFTAR PUSTAKA
_______Global Warmingg, lihat pada link: http://ivandelon.blogs.friendster.com/my_blog/2007/09/global_warmingg.html
_______Pemanasan Global, lihat pada link: http://id.wikipedia.org/wiki/Pemanasan_global

Chang, William. 2001. Moral lingkungan Hidup. Yogyakarta:Kanisius

Listijabudi, Daniel K. 2008. Meracik Jamu Kehidupan – 12 Refleksi Kesehatan Batin. Yogyakarta: Gloria Graffa

Fletcher, Verney H. 2007. Lihatlah Sang Manusia – Suatu Pendekatan Pada Etika Kristen Dasar. Jakarta: BPK Gunung Mulia

Deane-Drummond, Celia. 2006. Teologi dan Ekologi – Buku Pegangan. Jakarta: BPK Gunung Mulia

Tidak ada komentar: